Karanganyar, sinarpos – Dalam suasana pagi yang sejuk di lereng Gunung Lawu, nuansa sakral menyelimuti Gerbang Pendakian Cemoro Kandang, Tawangmangu. Di tengah semilir angin dan embun yang belum sepenuhnya sirna, Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menggelar sebuah tradisi spiritual penuh makna: Wilujengan Kiblat Sekawan.
Tradisi ini digelar untuk memperingati datangnya Bulan Sura 1959 Dal dalam penanggalan Jawa, sekaligus menjadi bagian dari ikhtiar luhur Kraton untuk menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Prosesi ini dilaksanakan atas dhawuh langsung dari Raja Kraton Surakarta, Sri Susuhunan Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan (SISKS) Pakoe Boewono XIII.
Kiblat Sekawan sendiri merupakan simbol empat penjuru arah mata angin—timur, selatan, barat, dan utara—yang diyakini sebagai pilar spiritual dan kekuatan penjaga eksistensi Kraton. Tahun ini, prosesi dimulai dari arah timur, tepatnya di kaki Gunung Lawu, yang dalam tradisi Jawa dipercaya sebagai titik sakral tempat bersemayamnya energi leluhur.
Sejak pagi hari, sekitar 50 Abdi Dalem, kerabat Kraton, dan Sentana Dalem berkumpul dalam khidmat. Diiringi doa-doa yang dipanjatkan oleh para ulama Kraton, suasana terasa syahdu. Di antara mereka tampak pula sosok raja, SISKS Pakoe Boewono XIII, hadir bersama Permaisuri GKR Pakoe Boewono, serta ketiga putri beliau: GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, GRAy Devi Lelyana Dewi, dan GRAy Dewi Ratih Widya Sari.
Lebih dari sekadar seremoni adat, Wilujengan Kiblat Sekawan adalah perwujudan dari nilai-nilai spiritual yang telah berakar dalam tradisi Jawa. Menyapa arah, memohon keselamatan, dan merawat harmoni antara alam dan manusia.
Dalam keterangannya, KGPH Adipati Dipokusumo, selaku Pengageng Parentah Karaton, menegaskan bahwa Kiblat Sekawan merupakan agenda spiritual tahunan yang selalu digelar setiap Bulan Sura.
"Empat arah itu bukan sekadar titik geografis," ujarnya. "Gunung Lawu (timur), Pantai Parangkusumo (selatan), Gunung Merapi (barat), dan Alas Krendowahono (utara)—semuanya adalah penjuru semesta yang diyakini sebagai tempat bertautnya kekuatan spiritual Jawa."
Ia pun menambahkan, tradisi ini adalah bentuk penghormatan terhadap leluhur sekaligus cara masyarakat Jawa merawat keseimbangan batin dan alam. “Ini bagian dari laku spiritual kita, yang diwariskan turun-temurun oleh para leluhur,” ucapnya penuh haru.
Dengan prosesi ini, Kraton Surakarta kembali meneguhkan peranannya sebagai penjaga nilai-nilai budaya dan spiritual yang tak lekang zaman. Sebuah warisan yang terus dihidupkan—bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijalani dalam kehidupan sehari-hari.(dd)
Posting Komentar