Penyertaan Modal 20% Dana Desa Pada BUMDes Yang Ilegal Dinilai Membahayakan dan Melanggar Hukum

Madiun, sinarpos – Praktik penyaluran dana desa sebesar 20% untuk ketahanan pangan kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang belum memiliki legalitas resmi dinilai membahayakan dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. Hal ini ditegaskan oleh Dimyati, pemerhati kebijakan desa, yang menyatakan bahwa dana desa adalah bagian dari keuangan negara yang bersumber dari APBN dan harus disalurkan sesuai aturan hukum yang berlaku.

"BUMDes yang belum memiliki badan hukum dan Nomor Induk Berusaha (NIB) tidak sah menerima penyertaan modal dari Dana Desa. Penyaluran dana negara ke usaha yang ilegal adalah tindakan melanggar hukum dan termasuk kejahatan," ujar Dimyati.

Legalitas BUMDes Jadi Syarat Mutlak

Menurutnya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021, seluruh pelaku usaha, termasuk BUMDes, wajib memiliki NIB sebagai bukti legalitas usaha. NIB bukan hanya syarat administratif, melainkan menjadi bukti pengakuan resmi bahwa BUMDes adalah badan usaha yang sah dan dapat menerima dukungan keuangan negara.

“BUMDes tanpa NIB tidak bisa menerima dana desa, karena itu berarti mereka belum sah menjalankan usaha,” tegasnya.

Risiko Hukum Bila Terjadi Kerugian

Lebih lanjut, Dimyati menjelaskan risiko hukum apabila terjadi kerugian dalam penyertaan modal ke BUMDes. Berdasarkan PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang BUMDes, khususnya Pasal 62, jika hasil audit menemukan kerugian, maka penasihat, pelaksana operasional, dan pengawas bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian tersebut.

“Jika mereka tidak menunjukkan iktikad baik dalam menyelesaikan kerugian, maka penyelesaian dilakukan melalui proses hukum. Artinya bisa berujung pada pertanggungjawaban pidana,” ujarnya.

Dana Ketahanan Pangan Hanya untuk Usaha Sesuai Ketentuan

Dimyati juga mengingatkan bahwa penyertaan modal dari Dana Desa untuk ketahanan pangan sebagaimana diatur dalam Permendesa PDTT Nomor 3 Tahun 2025, hanya boleh disalurkan ke BUMDes yang memang memiliki usaha di bidang ketahanan pangan.

“Kalau BUMDes tidak punya usaha ketahanan pangan, tapi tetap diberi dana, itu jelas pelanggaran hukum. Semua pihak yang terlibat, mulai dari Kepala Desa, BPD, hingga Camat atau Dinas yang memerintahkan, harus siap bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia menambahkan, dengan total nilai penyertaan modal yang bisa mencapai Rp40 miliar, maka bila kelak terjadi kerugian, aparat pemerintah di atasnya juga harus ikut bertanggung jawab. Kecuali, Kepala Desa memang siap menanggung sendiri risiko hukum dan kerugian yang muncul akibat keputusan itu.

Peran Pendamping Desa Harus Objektif dan Tidak Menyesatkan

Dalam hal ini, peran pendamping desa sangat krusial. Pendamping diharapkan tidak memberikan informasi secara sepotong-sepotong, apalagi sampai menyesatkan atau menghasut.

“Pendamping harus menjelaskan secara utuh: jika ke BUMDes, maka legalitas yang wajib dipenuhi apa saja; jika ke koperasi, dasar hukumnya apa; jika ke TPK khusus, dasarnya apa. Jangan arahkan desa yang awam hukum pada keputusan keliru,” ujar Dimyati.

Berpotensi Menjadi Tindak Pidana Korupsi

Lebih lanjut, Dimyati memperingatkan bahwa praktik seperti ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ia menegaskan, jika ada unsur penyalahgunaan kewenangan karena jabatan yang merugikan keuangan negara, maka pelaku bisa dipidana berat.

“Camat dan pendamping desa bisa memenuhi unsur tindak pidana korupsi jika mengintimidasi atau memaksa desa mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum,” katanya.

Penutup: Pastikan Legalitas dan Kesesuaian Usaha

Dimyati mengimbau agar seluruh unsur pemerintah desa berhati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam menyalurkan dana desa. BUMDes yang ingin menerima dana harus dipastikan memiliki badan hukum, NIB, dan usaha yang bergerak di sektor ketahanan pangan sebagaimana diatur Permendesa PDTT Nomor 3 Tahun 2025. (*)

0/Post a Comment/Comments

Dibaca