Madiun – jatimsatu.com - Fenomena tidak sesuainya akta pendirian Koperasi Merah Putih dengan ketentuan perundang-undangan tengah menjadi sorotan tajam. Banyak Notaris Pembuat Akta Koperasi (NPAK) maupun notaris biasa yang memberikan layanan pembuatan akta Koperasi Merah Putih diduga melakukan kesalahan fatal dalam penyusunan dokumen tersebut.
Pengamat kebijakan publik, Dimyati, mengungkapkan setidaknya terdapat dua indikasi pelanggaran serius yang kerap ditemukan dalam akta-akta tersebut.
"Pertama, isi akta tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak. Contohnya, terdapat pengurus koperasi yang tercantum memberikan hibah sebesar Rp500 juta sebagai modal awal. Ini tidak logis dan jelas bertentangan dengan kenyataan maupun peraturan," tegas Dimyati, Sabtu (21/6/2025).
Menurutnya, pengurus tidak mungkin memberikan hibah sebesar itu. Maka dari itu, akta seperti ini harus direvisi, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kedua, pengurus dan pengawas koperasi diduga banyak yang belum lolos BI Checking. Artinya mereka tidak memenuhi syarat dalam pengecekan riwayat kredit atau pinjaman berdasarkan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” tambahnya.
Lebih lanjut, Dimyati mengacu pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menyebutkan bahwa notaris bertugas membuat akta otentik sesuai kehendak para pihak dan tidak boleh bertentangan dengan hukum. Bila terjadi pelanggaran, notaris wajib melakukan perubahan akta.
“Jika muncul hibah Rp500 juta yang bukan kehendak pengurus atau pendiri koperasi, maka akta harus diubah. Artinya, notaris harus kerja dua kali : membuat akta baru dan mengoreksi kesalahan sebelumnya,” tegasnya.
Terkait kelayakan pengurus dan pengawas koperasi, Dimyati juga menyinggung Peraturan OJK Nomor 18/POJK.03/2017 tentang pelaporan informasi debitur serta Permenkop Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penyaluran Pinjaman Dana Bergulir kepada Koperasi Merah Putih.
Menurutnya, jika perubahan tidak dilakukan, akta bisa menjadi tidak sah dan tidak bisa digunakan untuk pengajuan modal ke Himbara (Himpunan Bank Milik Negara).
“Kalau koperasi tidak butuh modal dari Himbara, tidak masalah. Tapi kalau iya, akta yang keliru itu harus diperbaiki. Lebih baik sekalian disesuaikan dengan kondisi riil, termasuk unit usaha dan KBLI yang sesuai kebutuhan desa,” tambahnya.
Ia juga mengingatkan bahwa kesalahan notaris dalam pembuatan akta tidak seharusnya dibebankan kembali kepada koperasi dalam bentuk biaya perubahan akta.
“Kalau kesalahan berasal dari notaris, seharusnya tidak ada biaya tambahan. Bayangkan saja, 300 akta dikali Rp2,5 juta itu sudah Rp750 juta. Jika harus membayar dua kali, totalnya jadi Rp1,5 miliar. Kecuali Kepala Dinas terkait mau bertanggung jawab atas kesalahan tersebut,” ujar Dimyati.
Dimyati menegaskan, jika tidak dilakukan perubahan, maka ini bisa mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi karena biaya notaris dibiayai oleh keuangan negara. "Jika tetap dipaksakan, negara bisa dirugikan dan ada pihak lain yang diuntungkan secara melawan hukum," tegasnya.
Terkait kemungkinan kepala desa tidak lolos BI checking, Dimyati menjelaskan bahwa hal itu juga harus disesuaikan melalui musyawarah desa.
"Kalau kepala desa tidak lolos BI checking, bisa diganti oleh sekdes atau BPD berdasarkan hasil musyawarah desa," pungkasnya.(abw)
Posting Komentar